Nikah Mut’ah, Bukan Sunnah

NIKAH MUT’AH, BUKAN SUNNAH

Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah munqothi’). Sering kita mengenalnya dengan istilah nikah kontrak. Nikah mut’ah adalah pria-wanita menikah dengan batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepada wanita, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan. [Jami’ Ahkam An-Nisa` 3/169-170; Subul As-Salam 3/243; Al-Mughni, 10/46]


Secara rinci, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafqah, tidak saling mewariskan dan tidak ada ‘iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan. [Subul As-Salam 3/243]
Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada tiga :
1. Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu. [Fiqh As-Sunnah 2/132]
Menurut kebanyakan ulama, jika seseorang menikah dan tidak membuat syarat, namun dalam hati sudah diniatkan untuk bercerai pada waktu tertentu, nikahnya tetap sah. Alasannya, karena niatan seperti itu bisa saja terwujud, bisa saja tidak. Namun ulama lainnya menganggap nikah bentuk kedua ini masih termasuk nikah mut’ah seperti pendapat Al-Auza’i dan Ibnu ‘Utsaimin. [Shahih Fiqh Sunnah 2/101]

Dinukil dari Imam Nawawi,

قَالَ الْقَاضِي : وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلَال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ

Al-Qadhi Husain berkata, “Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang menikah dan niatnya hanya tinggal bersama si wanita selama waktu tertentu (nikah dengan niatan cerai, pen), nikah yang dilakukan sah dan halal. Nikah semacam ini tidak termasuk nikah mut’ah.  Disebut nikah mut’ah jika ada persyaratan di awal. Namun Imam Malik mengatakan, “Melakukan nikah dengan niatan cerai bukanlah tanda orang yang memiliki akhlak yang baik.” Al-Auza’i sedikit berbeda dalam hal ini, beliau berkata, “Nikah semacam itu tetap termasuk nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan sama sekali.” [Syarh Shahih Muslim, 9/182]
PADA MASA PENSYARIATAN, ANTARA BOLEH DAN TERLARANG
Nikah mut’ah di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini menjadi haram hingga hari qiyamah. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 99). Di antara nash yang mengharamkannya adalah,

عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً

Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari qiyamah. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan.” [Shahih Muslim, no. 1406]

وَ عَنْهُ قَالَ : أَََمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا

Beliau juga berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan kota Makkah, ketika kami memasuki Makkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami.” [Shahih Muslim, no. 1406]

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا

Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut’ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami.” [Shahih Muslim, no. 1405]

Dalam riwayat lain dari Sabrah, ia berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia berkata,

فَأَقَمْنَا بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ – ثَلاَثِينَ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ – فَأَذِنَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ … ثُمَّ اسْتَمْتَعْتُ مِنْهَا فَلَمْ أَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

Kami menetap selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah dengan wanita. … Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang gadis). Sampai aku keluar Makkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Shahih Muslim no. 1406]

Dalam lafazh lain disebutkan,

فَكُنَّ مَعَنَا ثَلاَثًا ثُمَّ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِفِرَاقِهِنَّ.

Wanita-wanita tersebut bersama kami selama tiga hari, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berpisah dari mereka. [Shahih Muslim no. 1406]

Ibnul Qayyim berkata,”Para ulama berselisih, apakah mut’ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna.” [Zad Al-Ma’ad 4/111]
Ibnu Katsir berkata,”Tidak ada keraguan lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.” [Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim 1/449]
Al-Qurthubi berkata,”Telah berkata Ibnul ‘Arabi,’Adapun mut’ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena mut’ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut’ah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’.” [Jami’ Ahkam Al-Qur`an 5/130-131]
Namun, bagaimanapun perselisihan ini tidak mengusik haramnya nikah mut’ah; karena, sekalipun terjadi perselisihan, akan tetapi telah terjadi kesapakatan Ahlus Sunnah tentang haramnya. Al-Qurthubi berkata,”Pengharaman mut’ah telah berlaku stabil. Dan dinukilkan dari Ibnul ‘Arabi, bahwa tekah terjadi Ijma’ (kesepakatan) atas pengharamannya (yaitu ijma` Ahlus Sunnah yang datang kemudian, wallahu a`lam, Pen).” [Jami’ Ahkam Al-Qur`an 5/87]

NIKAH KONTRAK, HARAM MUTLAK
Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’, dan secara akal.
Dari al Qur`an

Allah berfirman, “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. Al-Ma’arij : 29-31] Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.

Allah juga berfirman, “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. An-Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut’ah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian. [Mukhtashar Itsna Asy’ariah, Mahmud Syukri Al-Alusi, hlm. 228]
Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut’ah.
Adapun Ijma`, para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah. Di antaranya, Ath-Thahawi berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.” [Syarh Ma’an Al-Atsar 3/27]

Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :
1. Nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam Kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2. ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut salah.
3. Ekses yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya,

a.   Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.

b. Disia-siakannya anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.

c.   Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.

NIKAH MUT’AH DI ZAMAN RASULULLAH

Mungkin perlu disampaikan bagaimana bentuk nikah mut’ah yang pernah dilakukan oleh para shahabat ketika dulu nikah mut’ah masih dihalalkan, agar kita tahu betapa jauhnya perbedaan antara praktek nikah mut’ah para shahabat dengan orang-orang yang belakangan berzina atas nama nikah mut’ah.

  1. Nikah mut’ah dilakukan saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang (jihad), bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. [Shahih Muslim no. 1404]
  2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. [Shahih Al-Bukhari no. 5116; Shahih Muslim no. 1404]
  3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya tiga hari saja. [Shahih Al-Bukhari no. 5119; Shahih Muslim no. 1405]
  4. Keadaan para pasukan perang (jihad) sangat darurat untuk melakukan nikah mut’ah sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah atau daging bagi untuk mempertahankan hidupnya. [Shahih Muslim no. 1406]

Namun perlu ditandaskan sekali lagi, nikah mut’ah bukanlah sunnah, bahkan haram secara mutlak, sampai hari qiyamah. [/Rasheed]

Referensi

http://almanhaj.or.id/content/2952/slash/0

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bentuk-nikah-yang-terlarang-2-nikah-mutah.html

http://ngajisalaf.wordpress.com/2007/02/15/haramnya-nikah-mutah/

5 responses to “Nikah Mut’ah, Bukan Sunnah

  1. Mereka yang melalukan nikah mut’ah, coba ditanya; apakah rela ibunya, putrinya, adiknya dinikah secara mut’ah??!!

Tinggalkan Balasan ke mu'tashimbissunnah Batalkan balasan